Segelintir Embun

phone picture.jpg



Sekerat angan pada bibir ingin, merapal sendu di kabut malam itu. Kata sedang terduduk diam, menekuni sulur ingatan yang merambat; di dialog yang terlampau isak. “Sesingkat inikah embun membasahiku?” keluh daun kepada rindu. Perlahan, kulihat butiran waktu, meleleh senyap dari rerimbun yang merayap, ke matamu. Ringkih sekali. 


Lampu-lampu belum dinyalakan, sekotak pengap bernama gelap menjaring harapan yang dikidungkan rintik hujan. Perihal pagi yang menjadi perigi, puisi yang diserut, raut resah paling antah-berantah. “Kepada kepedihan embun berkisah.” Ada suara yang mendengung dari langit, yang mengebat larik-larik yang tak pernah sempat dilirik. Kata-kata yang tak pernah mudah terkatakan. Juga kalimat-kalimat tanya yang terlalu lapuk untuk dipertengkarkan musim.
Adalah sisa-sisa embun yang tak pernah terkenang, tergenang. Di daunmu, sebelum menjelma detak itu. Di antara rakitan hari yang renta di batas ketidakpahaman. Di antara titik dan koma yang pernah menjadi jeda, yang pernah digambar di buku lusuh pemberian masa lampau, yang kemudian dibungkus sebagai kado pertemuan kau-aku. 
 
Aku, segelintir embun yang tak akan banyak ingin. Selain melekat pada sebuah daun yang kunamai kamu: yang menampung tetesku, meski hanya sekejap.
Juga,kuingin kau menegukku kedalam ruang hampa dirimu.

post your comment

Previous Post Next Post