Sekerat angan pada bibir ingin, merapal sendu di kabut malam itu. Kata sedang terduduk diam, menekuni sulur ingatan yang merambat; di dialog yang terlampau isak. “Sesingkat inikah embun membasahiku?” keluh daun kepada rindu. Perlahan, kulihat butiran waktu, meleleh senyap dari rerimbun yang merayap, ke matamu. Ringkih sekali.
Lampu-lampu
belum dinyalakan, sekotak pengap bernama gelap menjaring harapan yang
dikidungkan rintik hujan. Perihal pagi yang menjadi perigi, puisi yang diserut,
raut resah paling antah-berantah. “Kepada
kepedihan embun berkisah.” Ada suara yang mendengung dari langit, yang mengebat
larik-larik yang tak pernah sempat dilirik. Kata-kata yang tak pernah mudah
terkatakan. Juga kalimat-kalimat tanya yang terlalu lapuk untuk dipertengkarkan
musim.
Adalah
sisa-sisa embun yang tak pernah terkenang, tergenang. Di daunmu, sebelum
menjelma detak itu. Di antara rakitan hari yang renta di batas
ketidakpahaman. Di antara titik dan koma yang pernah menjadi jeda, yang
pernah digambar di buku lusuh pemberian masa lampau, yang kemudian dibungkus
sebagai kado pertemuan kau-aku.
Juga,kuingin kau menegukku kedalam ruang hampa dirimu.