Berikan langitku

 
“Aku masih sayang dia…
Aku masih membutuhkannya.
Aku masih mengharapkan dirinya
Tapi, dia bukan untukku lagi..”
Suara isak tangis itu masih menggema di telingaku. Teriakan-teriakan histeris itu masih membuatku sedih. Bayangan tentang sosoknya masih saja menyelimuti hatiku. Oh tuhan… kenapa kau pisahkan aku dengannya, apa salahku sebenarnya. Kenapa harus dia yang pergi, kenapa bukan aku saja. Aku sangat mencintainya, dan aku takkan mungkin bisa menjalani hidup tanpanya. Bisakah… bisakah sekali saja pertemukan aku dengannya. Walau itu hanya dalam mimpi tidurku.
1 tahun yang lalu
Pagi yang cerah, matahari pun bersinar hangat. Suara burung-burung itu menemani setiap langkah kakiku. Ada pancaran wajah kebahagiaan saat aku melihatnya yang sudah menungguku di depan halte bus. Dia melambaikan tangan, menyuruhku agar mempercepat langkahku menuju sebuah busway yang sedang berhenti.
Suasana yang sama setiap harinya, kami berdua harus berdiri di busway dengan begitu banyak orang yang di sekeliling kami. Keringat mulai mengalir di sekitar keningku. Dengan wajah santai lelaki itu mengusapnya dengan dasi abu-abu yang dikenakannya. Dia tersenyum padaku. Dia memberiku semangat untuk menjalani hari yang panjang ini.
“Pulang nanti bareng kan?” Tanyaku.
“Iya, aku tunggu di depan gerbang” Jawabnya sambil tersenyum padaku.
Dia berjalan masuk ke kelasnya sedang aku masih memandanginya dari depan kelasku. Saat jam istirahat, dia memang tidak seperti anak-anak lainnya yang pergi ke kantin atau bermain di lapangan. Dia lebih suka berada di kelas sendirian. Aku sering mengintipnya dari balik jendela, yang dia lakukan adalah mendengarkan musik dari ipod-nya. Dia selalu ingin menyendiri. Tapi itu membuatku sangat penasaran dengannya.
“Langit…” Kataku memanggil namanya pelan
“Kenapa?” Sahutnya
Aku bersandar di pundaknya sambil memperlihatkan nilai ulanganku yang sangat jelek. Dia mengambil kertas di tanganku lalu memandangku datar.
“Kenapa bisa remed lagi?” Tanyanya
Aku menggeleng pelan, tatapan datar Langit membuatku takut.
“Bukannya soal ulangan kita sama, kamu juga kemarin ngambil kertas ulangan aku kan. Harusnya kamu gak remed kayak gini” Katanya
Aku mengambil paksa kertas ulanganku dari tangannya. Kurobek kertas itu dan ku lemparkan ke badannya.
“Kamu pikir aku seperti kamu apa? aku gak ber IQ tinggi. Aku gak bisa selalu mendapat nilai 100. Aku bukan kamu!”
Di saat aku sedang emosi aku pergi meninggalkannya. Aku berlari melewati jalan raya yang sedang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor. Aku sudah berada di seberang jalan, aku berharap dia mengejarku tapi…
Saat aku memalingkan wajah. Aku sempat melihat Langit yang mengejarku dia tidak melihat kalau beberapa meter darinya ada sebuah mobil yang melaju kencang. Kejadian itu pun terjadi, Langit terpental beberapa meter dari mobil yang menabraknya. Aku masih berdiri mematung di seberang jalan. Melihat orang-orang yang berusaha menolong Langit. Ia bersimbah darah dan tak sadarkan diri.
4 jam aku berada di rumah sakit. Aku cemas, bingung, tidak tahu harus melakukan apa. Tidak ada siapa-siapa di sini. Ayah dan ibunya kebetulan saat itu sedang pergi ke luar kota. Aku menangis sambil berlutut di depan ruang ICU.
“Benturan di kepalanya memang cukup keras. Syukurlah itu tidak menyebabkan gegar otak” Kata dokter.
Aku menghembuskan nafas lega. Kulihat Langit yang sedang terbaring di dalam ruang ICU. Dia tidak apa-apa, hanya saja sekujur tubuhnya dipenuhi luka dan memar. Saat aku diberi kesempatan untuk menengoknya selama 15 menit, kata pertama yang kuucapkan adalah “maaf”. Karena kebodohanku dia begini, dia celaka dan itu hampir merenggut nyawanya.
Tangannya yang luka itu terus saja kuusap. Hening, tidak ada respon darinya. Langit masih saja diam. Wajahnya pucat pasi.
“Langit, bangun. Maafkan aku… aku salah. Aku.. aku janji aku tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi” Kataku sambil berbisik di telinganya.
Sebelum aku keluar dari kamar aku sempat mencium keningnya. Dan saat itu aku melihat Langit meneteskan air mata. Aku mengusap air mata itu sambil berusaha menahan tangis. “Cepatlah bangun, biar kita bisa berangkat sekolah bareng lagi” Ucapku dalam hati.
Aku menyusuri jalan di sepanjang pertokoan yang masih tutup. Begitu sepi pagi ini bahkan suara burung-burung kecil tak terdengar sedikit pun. Selama seminggu ini aku hanya sendiri. Tidak ada Langit yang selalu menemani pagiku. Tetes demi tetes air mata itu mulai mengalir membasahi pipiku. Aku sangat merindukan dirinya.
“Kok nangis?..”
Aku diam tak bergeming.
“Kenapa nangis?”
Suara itu… Secepat kilat aku membalikkan badan
“Langit…”
Dia tersenyum kepadaku, wajahnya nampak berseri-seri. Aku langsung memeluknya erat sambil menangis cukup keras di pundaknya. Dia tidak cerita kalau dia pulang dari rumah sakit.
“Aku ingin memberi kejutan, harusnya sih ini di sekolah” Kata Langit
Aku tersenyum sambil terus memeluknya “Maafkan aku..”
Langit mengerutkan kening “Maaf untuk apa?”
“Maaf buat apa aja yang pernah aku lakukan ke kamu”
Kadang saat kita melakukan kesalahan pada seseorang, dengan mudahnya kita akan mengucapkan kata “maaf” tanpa kita berpikir apakah kata maaf itu pantas untuk menebus kesalahan yang kita perbuat. Dan apakah kata maaf itu bisa merubah sifat kita dari sebelumnya. Meskipun kata maaf itu sering aku ucapkan, tapi kesalahan itu jauh lebih sering aku lakukan. Pikiranku begitu sempit, aku ingin dia selalu mengerti aku. Mengalah demi aku, semuanya demi aku.
“Sekarang kamu harus fokus ujian! Aku gak mau lagi liat kamu sibuk dengan sosial media!” Ujar Langit sambil membentak mejaku.
Aku yang sedang asyik facebookan langsung cemberut dan menghempaskan ponsel ku ke meja. Langit mengambil ponselku itu dan meletakkannya di dalam tasku. Dia malah menyodorkanku sebuah buku berisi kumpulan soal-soal ujian.
“Gua malas belajar..” Kataku
“Kalau malas kamu gak bakal lulus ujian” Sahut Langit
“Agh…” Kataku sambil meninggalkan meja lalu berjalan ke pinggir jendela. Sesekali aku menghirup udara segar dari luar jendela. Langit berdiri di sampingku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku menatapnya dingin dan dia juga melakukan hal yang sama sepertiku.
“Ngapain sih kamu peduli sama aku, aku bisa aja kok ngerjain soal ujian. Tanpa bantuan kamu” kataku.
“Aku hanya ingin kita bisa lulus dengan nilai memuaskan. Lalu diterima di universitas yang sama” Kata Langit.
Aku menghela nafas panjang. “Aku gak mau kuliah” Kataku.
“Kalau gitu aku juga gak akan kuliah” Kata Langit.
Aku melirik kecil “Kenapa?”
“Aku ingin melakukan apa yang ingin kamu lakukan” Kata Langit
Aku tertawa “Mustahil, kamu pasti kuliah. Kamu aja udah didaftarkan masuk kuliah tanpa tes” Kataku
“Aku bisa batalin itu semua. Keputusan tetap ada di tanganku” Kata Langit santai.
Perkataan itu membuatku hanya bisa menelan ludah. Anak ini terlalu berani mengambil resiko. Aku berharap perkataanya tadi hanya candaannya saja.
“Ayo belajar!” Kata Langit
“Baiklah…” Kataku mengalah.
Karena begitu lelah aku sampai tertidur di dalam bus. Beruntung Langit mau mengalah, dia rela berdiri di dalam bus agar aku bisa mengistirahatkan badanku. Dia selalu mengalah tanpa pernah mengeluh sedikitpun. Langit membangunkanku dari tidur. Sekarang kami sudah sampai di depan halte. Aku dan Langit berjalan beriringan. Sesekali aku menyandarkan kepalaku di pundak Langit. Rasa kantukku belum juga hilang, aku masih ingin tidur.
Sampai di depan rumah ternyata mama sudah menungguku. Glek, aku hanya bisa menelan ludah. Tatapan tajam mama pada Langit membuatku takut.
“Vera!, masuk!” Kata mama ketus
Aku segera masuk ke dalam rumah tanpa sempat mengucap pamit pada Langit. “Apa-apaaan kamu Vera! Kamu jalan sama anak lelaki itu. Kamu itu masih SMA, pantas saja kamu sering pulang telat ternyata itu yang kalian lakukan berdua” Kata mama.
“mama aku bisa jelasin mah… aku sama Langit gak ngapa-ngapain” Bantahku
Mama lantas menampar pipiku “Kamu pikir mama buta?!. mama melihat sendiri kamu jalan berdua dengannya. Mulai sekarang jauhi dia! mama gak mau lihat kamu jalan dengannya lagi”
Aku sayang sama mama apapun yang mama katakan itu adalah yang terbaik untukku. Aku akan menjauhi Langit untuk mama. Aku gak akan membiarkan kehilangan orang yang sangat aku sayang untuk kedua kalinya. Cukup sekali aku kehilangan papa aku tidak mau lagi kehilangan mama. Aku ingin mama bahagia. Itu saja… itu sudah lebih dari cukup.
Malang memang hubungan yang aku jalin bersama Langit harus kandas di tengah jalan. Aku harus kuat, walaupun sejujurnya aku tidak ingin berpisah dengannya. Langit mungkin bisa menyembunyikan kesedihannya tapi aku?. Untuk melangkah menuju sekolah pun rasanya sangat berat. Melihatnya wajahnya saja membuatku selalu ingin meneteskan air mata. Ada yang berbeda dengan Langit. Dia sangat berbeda dengan anak lelaki lain yang pernah kukenal sebelumnya.
Semenjak putus kami tidak pernah saling berkomunikasi lagi. Seperti tak pernah kenal. Walaupun kami selalu bertemu setiap harinya tapi tidak pernah kata-kata sapaan itu keluar dari mulut kami berdua. Tidak ada Langit membuatku seperti kehilangan kebahagiaan. Aku lebih sering menyendiri di kamar maupun di kelas. Aku tidak pernah lagi belajar, bahkan buku-buku pelajaran itu sudah aku singkirkan dari kamarku. Baru saja aku merasakan bahagianya bisa diajari oleh orang yang aku sayang. Sekarang orang yang kusayang itu semakin menjauh dari hidupku. Tidak bisakah kesempatan itu datang untuk kedua kalinya, aku hanya ingin memperbaiki apa yang sudah kuperbuat sebelumnya.
Aku duduk di balkon kamar sambil menyaksikan rintik hujan yang membasahi sekujur tubuhku. Semakin lama rintik hujan itu semakin banyak. Tubuhku mulai basah kuyup tapi aku masih tetap berada di balkon rumah. Beberapa kali mama memperingatiku agar turun dari balkon. Namun aku tak bergeming. Aku masih saja duduk sambil menatap langit yang kelabu.
Di tengah derasnya hujan yang mengguyur. Seseorang melambaikan tangan dari balik pintu pagar rumahku. Langit, lelaki itu melambaikan tangannya sambil berteriak memanggil namaku. Segera aku turun dari balkon rumah sambil berlari.
“Mau kemana kamu?” Kata mama
“Aku mau keluar” Sahutku
“Di luar hujan deras..” Kata mama lagi
Aku tidak peduli apa yang mama katakan. Aku berlari ke luar rumah sambil menghampiri Langit yang berdiri di depan pintu pagar. Sekujur tubuhnya basah kuyup, bibirnya juga mulai membiru.
“Langit…” Kataku pelan
Langit membalas ucapanku dengan senyuman kecil.
“Langit.. aku kangen sama kamu” Kataku hampir terisak. Langit menatapku lalu kembali tersenyum. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya, lantas aku memeluknya dan membiarkan air mataku menetes bersamaan tetesan air di langit.
Hampir beberapa menit aku membiarkan tubuhku memeluk Langit, mama seketika datang dan langsung menarik tanganku.
“Vera!! sedang apa kamu dengannya!” Kata mama begitu marah.
Aku berlutut di kaki mama sambil menangis “mama dengerin aku ma.. aku cuma ingin ketemu sama Langit” Kataku. Mama menarikku paksa, entah apa yang ada di pikiran mama dia sepertinya sangat tidak suka kalau aku bertemu dengan Langit.
“Vera..” Panggil Langit
Aku membalikkan badan sambil menatapnya bingung. Langit berjalan ke arahku sambil mengeluarkan kotak kecil dari saku celananya.
“Ini kaca mata milikmu, maaf aku lupa mengembalikannya” Kata Langit
Aku mengambil kaca mata itu dari tangannya. Kedatangan Langit ke sini tenyata hanya ingin mengembalikan kaca mata milikku. Aku hanya terdiam saat ia beranjak pergi dari hadapanku.
“Aku pikir kamu ingin kembali… aku pikir kamu ingin mengatakan kalau kamu juga merindukanku” ucapku dalam hati.
Saat Langit telah beranjak pergi dari hadapanku. Aku pun berjalan menuju teras rumah. Bajuku yang basah membuatku menggigil kedinginan, aku berusaha mencari-cari Langit yang sudah meninggalkan pekarangan rumahku.
Aku berlari dari rumah dan mengejar Langit yang berjalan beberapa meter dariku. Aku ingin mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Aku ingin mengatakan kalau aku benar-benar kehilangan dia.
“La.. langit” Panggilku
Langit menghentikan langkah kakinya lalu berbalik menghadapku. Awalnya aku tersenyum saat dia membalikkan badan namun air mataku seketika menetes saat melihat darah segar mengalir di lubang hidungnya.
“Kenapa… kenapa kamu” Kataku terbata-bata.
Langit menghapus darah yang mengalir di hidungnya. Dia hanya menggeleng pelan.
“Langit kenapa kamu? Ada apa sama kamu” Kataku lagi
Langit mendekat, ia lalu memelukku hangat.
“Aku gak apa-apa” Katanya.
Aku melepaskan pelukkan itu, lalu memegang kedua pipi Langit. Aku merasa Langit nampak berbeda, dia sangat pucat bahkan bibirnya bergetar seperti orang yang kedinginan. Baru saja aku ingin mengajaknya untuk berteduh, tiba-tiba Langit menutup mata lalu kehilangan kesadarannya.
Sebuah rahasia yang tidak pernah aku ketahui darinya. Rahasia itu begitu disimpannya rapat-rapat. Aku baru mengetahui kalau Langit mengidap kelainan otak. Kanker stadium akhir. Mungkin inilah saat-saat terakhir aku bisa melihat dirinya.
Aku kembali bertemu dengan ruangan ini lagi, ruangan yang sama saat dia dirawat karena kecelakaan kurang lebih 6 bulan yang lalu. Aku hanya bisa melihat Langit yang sedang berjuang melawan penyakitnya lewat sebuah kaca kecil di pintu ICU.
Mama memelukku erat, dia mungkin telah menyadari kesalahannya. Sejak kemarin sore sampai dini hari ini mama terus saja berada di sampingku. Tidak ada perubahan yang berarti pada Langit. Aku hanya bisa mengunggu.. menunggu.. dan menunggu.
“Kalau dia tidak bangun lagi gimana mah..” Kataku pelan
“Dia pasti bangun sayang..” Kata mama
“Tapi detak jantungnya sangat lemah.. aku takut mah, takut..!!” Kataku lagi.
Dengan sabar mama berusaha menguatkanku, aku melihat mama Langit jauh lebih terpukul dariku. Saat dia mengetahui kalau Langit masuk rumah sakit dia hanya bisa menangis di pelukan suaminya.
“Kami tidak pernah tahu kalau Langit memiliki penyakit seperti ini. Bahkan kami saja jarang mendengar kabar tentangnya” Kata mama Langit.
Mama berusaha menghibur mama Langit sedang aku masih duduk tertunduk di kursi tunggu.
“Kami banyak melewatkan waktu tanpanya, sampai-sampai kami tidak menyadari kalau dia sekarang sudah tumbuh besar” Kata Papa Langit.
Seperti itukah kehidupan Langit sebenarnya. Begitu kesepiankan kah dia?, apalagi saat itu dengan sengaja aku meninggalkan dirinya. Membiarkannya kesepian walaupun mungkin saja saat itu dia sangat membutuhkanku tapi dia tak bisa mengungkapkannya.
Suara teriakan histeris itu akhirnya pecah, Langit… kenapa kamu meninggalkan kami. Kenapa kamu meninggakan orang tuamu. Kenapa kamu meninggalkan aku. Adakah cara lain agar bisa mengembalikan dirimu. Bisakah kamu mengatakannya, bisakah Langit?.
Mungkin aku belum sepenuhnya bisa melupakan kenangan tentang Langit. Bahkan sampai aku duduk di bangku kuliah dan sekarang hampir menyandang gelar sarjanaku. Sejak Langit meninggalkanku aku tidak pernah lagi merasakan cinta. Cintaku sudah hilang, terkubur bersama kenangan indah tentang Langit.
Setiap malam aku menyebut namanya, setiap malam aku merindukannya. Aku tahu, dia takkan pernah menjawab sebutan namaku, tapi aku masih berharap. Aku berharap bisa bangun dari mimpi panjang ini. Aku berharap bisa kembali seperti Vera yang dulu. Vera yang ceria dan supel.
Tak ada habisnya jika aku terus mengenangnya. Tak ada gunanya aku terus mengharapkannya. Dia adalah kenanganku, kenangan yang amat indah. Mungkin tuhan tak menyatukan kami di dunia ini tapi nanti di dunia yang kekal dan abadi.
“Langit…, aku mencintaimu”
The end
Cerpen Karangan: Te Quiero
Blog: lokeraufit.blogspot.co.id
Kenali saya lebih jauh di ig: Te_quiero0298
"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

post your comment

Previous Post Next Post